Minggu, 15 Mei 2011

KAKUS

Setelah keluar dari kakus.’ Sang Guru yang sedang berdiam di Hutan
Jeta menceritakan hal ini sehubungan dengan peta yang memakan tinja.
Dikatakan bahwa di suatu desa yang tidak jauh dari Savatthi hidup
seorang pria kaya. Dia membangun sebuah vihara untuk seorang bhikkhu
yang bergantung pada dana keluarganya. Para bhikkhu dari berbagai
daerah datang dan tinggal di sana. Ketika melihat mereka, penduduk
desa dengan bakti di hatinya melayani kebutuhan-kebutuhan mereka
dengan benda-benda pilihan. Bhikkhu yang tergantung pada dana keluarga
tersebut tidak suka melihat hal ini. Karena dikuasai keiri-hatian, dia
membuat jengkel pria kaya tersebut dengan memberitahukan
kesalahan-kesalahan para bhikkhu itu. Pria kaya itu memandang rendah
para bhikkhu maupun bhikkhu yang bergantung pada dana keluarganya itu
dan mencaci maki mereka. Bhikkhu yang bergantung pada dana keluarga
itu kemudian mati dan muncul sebagai peta persis di kakus vihara itu,
sedangkan ketika pria kaya itu mati, dia muncul sebagai peta persis di
atas bhikkhu itu. Ketika Y.M. Mahamoggallana melihatnya, beliau
menanyai dia dengan syair ini:
1 ‘Siapakah itu yang berdiri di dalam keadaan yang menderita setelah
keluar dari kakus? Tak diragukan lagi engkau adalah pelaku kejahatan —
mengapa engkau membuat suara itu?’
Ketika mendengar ini, peta tersebut membuka identitasnya dengan syair ini:
2 ‘Saya, tuan, adalah peta yang pergi ke kehidupan sengsara di alam
Yama. Karena telah melakukan tindakan yang jahat, saya telah pergi
dari sini menuju alam para peta.’
Thera tersebut kemudian bertanya kepadanya tentang tindakan yang telah
dilakukannya dengan syair ini:
3 ‘Tindakan jahat apa yang telah dilakukan olehmu, lewat tubuh,
ucapan, atau pikiran? Sebagai hasil dari tindakan apa engkau sekarang
menjalani kesengsaraan ini?’
Peta tersebut kemudian memberitahu dia tentang tindakan yang telah
dilakukannya lewat dua syair ini:
4 ‘Saya mempunyai seorang bhikkhu yang menetap, yang dengki dan egois
tentang keluarga saya; dia melekat pada rumah saya, dia kikir dan suka
menghina.
5 Setelah mendengar apa yang dia katakan, saya memaki para bhikkhu itu
— sebagai hasil dari tindakan itulah maka saya telah pergi dari sini
menuju alam para peta.’
Ketika mendengar ini, thera tersebut mengucapkan syair yang menanyakan
nasib sang bhikkhu:
6 ‘Orang yang bergantung pada dana keluargamu itu adalah musuh yang
menyamar sebagai teman. Pada saat tubuh orang tolol itu hancur,
setelah kernatian ke tempat tujuan mana dia pergi?’
Peta itu sekali lagi mengucapkan dua syair yang menjelaskan hal itu
kepada sang thera:
7 ‘Saya sedang berdiri di atas kepala, di puncak, makhluk yang sama,
yang melakukan tindakan jahat itu. Dia telah mencapai alam lain dan
sekarang menjadi pelayan bagi saya sendiri.
8 Apa yang diberakkan orang-orang lain, tuan, itu menjadi makananku;
sedangkan apa yang saya sendiri berakkan, dia harus hidup dari itu.’
(Mengenai hal-hal ini, pria kaya itu mencaci para bhikkhu yang
berperilaku balk tersebut dengan berkata, ‘Aku harap kalian harus
makan tinja karena telah menikmati makanan itu’. Tetapi, karena
bhikkhu yang bergantung pada dana keluarganya telah menghasut pria
kaya itu sehingga dia berkata dengan cara itu, dia sendiri (harus juga
dianggap sebagai telah) menghina (para bhikkhu itu) dengan cara itu.
Karena hal inilah maka kehidupannya lebih sengsara daripada yang
pertama.)
Y.M. Mahamoggallana mengajukan masalah itu kepada Sang Buddha. Sang
Buddha mengambil masalah itu sebagai kebutuhan yang muncul, dan
setelah menunjukkan kerugian­ kerugian dari ucapan yang menghina,
Beliau mengajarkan Dhamma kepada kelompok yang berkumpul di sana.
Ajaran itu bermanfaat bagi orang-orang tersebut.