Dalam situasi dan kondisi sosial yang penuh dengan ketidakpastian sekarang ini, masyarakat seringkali dihadapkan pada kenyataan-kenyataan pahit. Sementara di sisi lain “model” kehidupan modern yang serba mewah terus disuguhkan tanpa henti secara sempurna melalui sinetron dan infotainment yang menjamur di Televisi. Replika kehidupan semu inilah yang kemudian berubah menjadi standar angan-angan dan mimpi kehidupan masyarakat. Akibatnya mimpi pun dipaksa untuk menjadi kenyataan hidup bagi masyarakat.
Kenyataan terkadang memang menyakitkan dan kejam. Seringkali kenyataan juga melarang kita untuk memenuhi hasrat-hasrat manusia yang paling intim, yang justru terbangun akibat kenyataan yang lain. Karena itulah mimpi menjadi solusi dari larangan-larangan tersebut. Mimpi telah menjadi kenyataan lain, yang memberi ruang bagi kita untuk melakukan “pelanggaran” atas setiap norma dan etika . Susah rasanya melarang orang lain bermimpi, meskipun itu tidak mustahil. Itulah kenapa Sigmund Freud dalam Die Tredeutung merumuskan mimpi sebagai sarana pemenuhan hasrat yang terselubung.
Pada dasarnya mimpi itu sangat positif fungsinya, ia merupakan tanda yang dapat menyadarkan manusia akan konfliks-konfliks rohaniah yang terpendam dalam dirinya. Jika kita dapat memanfaatkannya secara tepat dan kritis, mimpi akan sangat membantu kita untuk lebih kreatif dan produktif dalam menjalani hidup. Sebaliknya jika hanya menggunakannya sebagai sarana pelarian dari ketidakberdayaan kita menghadapi kenyataan, maka ia akan membawa kita pada kegilaan. Pada saat ini, masyarakat kita tengah terbelengguh oleh mimpi sebagai sarana pelarian, maka muncullah kegilaan-kegilaan yang jauh dari nilai dasar kemanusiaan.
Reformasi yang “sukses” meruntuhkan sekat kebebasan, memunculkan kegilaan yang selama ini terpendam dalam alam mimpi ke alam nyata. Tubuh-tubuh polos tanpa busana yang mengumbar hasrat primitive hewani manusia, diklaim sebagai sebuah karya seni yang artistic. Angan-angan menjadi orang kaya membutakan nurani sehingga menghalalkan segala cara untuk meraihnya. Korupsi menjadi gaya hidup para pejabat dan birokrat, politisipun tak ketinggalan menjadi kutu loncat dengan menggadaikan rakyat.
Sementara mereka yang menjadi bagian dari kelompok marginal, kegilaan itu bercampur dengan keputusasaan mereka terhadap harapan. Maka lahirlah pelanggaran-pelanggaran norma dan etika, mereka mulai merampas, mencopet, merampok, menjual diri dan bahkan membuang bayi karena merasa yakin akan tidak adanya harapan masa depan buat diri dan anaknya. Mereka terjerumus dalam kegilaan dan keputusasaan yang tak berbatas.
Mimpi telah menembus alam “maya”-nya. Ketakutan pada norma dan etika telah sirna, mimpi itu harus diwujudkan dengan segala cara. Tidak ada pilihan buat mereka kecuali melangkah ke depan. Bagi mereka diam adalah “kematian”, tak ada harapan dalam kematian. Tetapi dalam kegilaan masih ada kesempatan untuk melihat dan dilihat yang lain, dan itu sebuah harapan. Dalam setiap kegilaan semua “dilalaikan, dilupakan, dan tak jarang harus dihilangkan”, tak peduli itu Tuhan, anak, istri, status, apalagi Cuma aturan. Tak ada lagi kepatuhan, kesopanan, kejujuran, kepercayaan, dan kemanusiaan. Bahkan kesemuanya itu mungkin telah berpindah ke alam mimpi.
Aroma bubuk heroin, ekstasi dan sabu, telah menjadi “sorga” yang dahulu hanya mereka mimpikan sebagai taman firdaus yang kekal. Beratnya menahan mimpi dan harapan dalam himpitan kehidupan yang semakin sulit dan tak manusiawi ini, membuat rantai ilahiyah dalam jiwa manusia terputus. Jiwa dan nurani yang suci tergerus oleh kuatnya hawa nafsu yang melarang mereka untuk menahan diri. Bahkan tak jarang hawa itu meminta kita untuk melawan Tuhan dengan mengatasnamakan Tuhan. Kehidupan mimpi yang tanpa batas dan aturan, mereka paksakan menjadi kewajaran hidup.
Mungkin kita bisa belajar pada seorang “seniman” besar Leonardo Davinci. Ia mewujudkan mimpinya tentang kehidupan yang mengalir dalam tubuh manusia. Gambaran mimpi itu mampu melahirkan karya seni yang mungkin hanya ada dalam alam mimpi masyarakat pada batas zamannya. Karya itu begitu masyhur dan mengilhami berbagai macam disiplin ilmu kesehatan -terutama bidang anatomi tubuh manusia- yang tak terbatasi zaman. Satu hal lagi karya itu jauh dari kesan porno. Kevulgaran yang ia tampilkan adalah kevulgaran ilahiyah, dimana semua jaringan pembuluh darah dengan segala macam gambaran struktur biologisnya ia tampilkan dengan “wajah” keagungan Sang Pencipta manusia. Tidak ada eksploitasi yang mengumbar kegilaan nafsu dan hasrat hewani dengan bungkus seni, ekonomi, politik dan apalagi kekuasaan. Semua hanya soal imajinasi (mimpi) dan seni
Sekarang mimpi telah kehilangan “kesakralannya”. Suatu saat mungkin kita tak dapat lagi memimpikan kebebasan, karena kebebasan dalam alam nyata telah menjadi lebih “bebas” dari kebebasan di alam mimpi. Justru sebaliknya mungkin kita akan merindukan “ketidakberdayaan” kemanusiaan kita yang sesungguhnya serba terbatas di dalam dan zaman yang serba tak “berbatas” dewasa ini.