PENDAHULUAN
Perbincangan mengenai agama sangat sensitif sekali. Penilaian terhadap suatu agama sangat mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor subyektif. Dari sikap inilah yang barangkali menyebabkan interaksi umat beragama di Indonesia maupun di dunia lainnya dalam sejarah dan interaksi sosialnya ditandai oleh suasana kompetetif yang cenderung pada sikap ekslusivisme dan saling bermusuhan.
Setiap agama bagi para pemeluknya merupakan kebutuhan azasi yang menentukan arah dan tujuan hidup umat manusia. Sementara itu, secara sosiologis, agama mengatur hubungan antar manusia dan berinteraksi dengan aspek-aspek kehidupan masyarakat lainnya, seperti politik, ekonomi, kepemimpinan, sosial. Dengan dengan demikian, agama bersifat operasional fungsional.
Kalau kita mau jujur, pada essensinya semua agama yang dianut manusia dalam sejarah merupakan satu rumpun. Sebab antar agama yang satu dengan lainnya terdapat suatu keterkaitan, bahkan ada yang mempunyai kesamaan ajaran dan pandangan. Kesamaan substansinya adalah pada sudut aqidah (keimanan), sebab agama-agama tersebut merupakan agama samawi yang memiliki titik temu dalam tataran tauhid dan berasal dari sumber yang satu yaitu Allah. Kesamaan lainnya terletak pada nilai-nilai universal yang disampaikan oleh agama samawi tersebut.
Agama-agama samawi mempunyai sumber yang satu yaitu Allah dengan bertitik tolak pada moyang yang sama, Nabi Ibrahim. Bahkan secara global perwujudan ajaran agama-agama itu sama, baik perwujudan struktural maupun fungsional. Secara struktural, agama merupakan suatu sikap menerima, menyerah, tunduk dan taat terhadap segala urusan Tuhan, baik keduniawian maupun keakhiratan (ibadah). Adapun secara fungsional, agama merupakan suatu tatanan (ajaran) yang menata dan mengantarkan pola hidup manusia ke arah perilaku yang benar untuk memperoleh kebahagiaan, kesejahteraan lahir dan batin.[1]
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat pluralis (majemuk, heterogen). Kemajemukan ini menimbulkan kesan keunikan dan karena keunikannya itu diperlukan hal-hal yang unik pula, yaitu perlakuan dan sikap berdasarkan paham kemajemukan (pluralisme). Dalam suasana kemajemukan itulah diharapkan dapat ditumbuhkannya sikap menerima sebagaimana adanya, sikap bersama yang sehat, mengakui segi-segi kelebihan satu sama lainnya dan mendorong secara bersama-sama melakukan kebaikan dalam masyarakat. Perbedaan diterima dalam kerangka persamaan (agree in disagreement).
Pluralitas agama dari masyarakat Indonesia tercermin dengan adanya agama-agama yang diakui pemerintah, seperti Islam, Katholik, Protestan, Budha, Hindu dan agama Kon fu tse. Disamping itu, kehidupan dunia dewasa ini dengan era globalisasinya juga mendatangkan pluralitas agama dimana penduduk yang berbeda agama memungkinkan untuk hidup berdampingan dan berkomunikasi satu sama lainnya.
Pluralitas agama di Indonesia merupakan potensi dan mempunyai peranan sangat besar dalam proses inategrasi maupun pembangunan bangsa mengingat ajaran agama mewajibkan umatnya untuk mencintai sesama dan hidup rukun. Namun persoalannya, konfilk mulai muncul terutama dalam agama-agama profetis (kenabian) yang selalu mengklaim bahwa ajaran agamanya merupakan totalitas sistem makna yang berlaku bagi seluruh kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sosial.
Karena itu, klaim seperti itu semakin mengkristal, ketika agama-agama profetis semacam Islam, Kristen, Katolik Hindu, Budha dan Kon Fu Tse hadir secara historis dalam kancah kehidupan masyarakat Indonesia selalu memung-kinkan terjadinya "yang paling berhak atas klaimnya" yang bersumber dari pemahaman teologis masing-masing pemeluk agama. Klaim kebenaran mutlak dan adanya muatan emosi keagamaan yang bersifat subyektif menjadi dasar hubungan primer, maka pluralitas agama juga mengandung potensi terjadinya konflik dan disintegrasi bangsa.
Pertikaian muncul yang rumit, ketika masing-masing pemeluk agama mengaku paling berhak atas "klaim kebenaran (truth claim)" dan mengabaikan dialog serta adanya anggapan yang memandang sebelah mata terhadap agama lain atau adanya sikap menyalahkan atas pengertian dan pemahaman agama lain. Masalahnya akan semakin melebar, destruktif serta melahirkan disintegrasi baik politik, sosial, ekonomi, individu maupun kelompok. Pengalaman menunjukan konflik antar pemeluk agama seringkali muncul karena dipicu oleh hal tersebut secara tidak bertanggung jawab.
Konflik antar pemeluk agama dalam masyarakat bisa disebabkan oleh agama itu sendiri maupun oleh kualitas moral-spiritual penganutnya, serta latar belakang budaya seperti adanya budaya patriarkal maupun ikatan primordial yang masih kuat. Disamping secara struktural menyangkut perbedaan dan rasa insecurity dalam bidang sosial ekonomi dan politik. Dari segi ajaran agama, pada umumnya mengandung klaim kebenaran yang sifatnya universal dan dalam hal ini dimungkinkan juga terjadinya ambiguitas dalam penafsiran sejalan dengan tingkat pemahaman, penghayatan maupun moral spiritual penganutnya. Hal tersebut tampak dalam penggunaan konsep-konsep atau simbol-simbol agama untuk tujuan tertentu dengan melibatkan emosi keagamaan penganutnya.
Penghindaran konflik atau kerukunan antar umat beragama merupakan hal yang teramat penting dan merupakan suatu keniscayaan di tengah kemajemukan masyarakat Indonesia. Upaya tersebut, hanya bisa tercapai melalui dialog, sehingga para penganut agama diharapkan untuk hidup berdampingan secara damai, saling menghormati dan bekerja sama dalam menangani persoalan-persoalan kemanusiaan. Diantara usaha untuk mewujudkan kerukunan hidup atau penghindaran konflik diantara umat beragama itu adalah upaya saling mengenal masing-masing agama satu sama lainnya melalui dialog antar agama.
Dialog antar agama dilakukan untuk menghilangkan rasa kecurigaan di antara pemeluk agama, saling mengetahui dan saling menghargai eksistensi suatu agama. Titik tolak pada dialog ini merupakan suatu komunikasi timbal balik dan dapat ditingkatkan menjadi hubungan antar praibadi. Dalam hal ini, sikap hormat diperlukan, namun juga persahabatan, selanjutnya kita saling menaati kebenaran atas agama orang lain dan menghormati kebebasan melaksanakan agamanya masing-masing.
Dalam dialog antar umat beragama ini, Mukti Ali menganggap bahwa dialog merupakan proses belajar menghilangkan rasa takut dan kecurigaan antara satu dengan lainnya baik bagi orang perorang maupun kelompok dan mengembangkan hubungan-hubungan baru sebagai dasar untuk saling percaya. Dialog adalah suatu kontak yang dinamis antara persoalan kehidupan, tidak terbatas pada suatu pandangan yang bersifat rasional untuk tujuan kearah hidup bersama, tetapi yang terpenting adalah kerja sama dan bersama-sama membangunan suatu tatanan dunia baru.
Disamping itu pula, menurut mantan menteri Agama ini, dialog juga sebagai suatu aktivitas yang bersifat cinta kasih kepada sesama yang melibatkan segi-segi intelektual, moral, sosial dan segi-segi praktis merupakan suatu bagian yang tidak dapat dielakkan dari dunia saat ini. Hal ini karena, dimana saja orang perorang dan golongan yang berbeda tradisi dan kepercayaannya tidak akan mampu hidup lebih lama sendirian dan terpisah. Dewasa ini, kita sedang berjuang untuk menghadapi persoalan-persoalan kemanusiaan, seperti kemiskinan, pengangguran, lingkungan hidup dan kita sedang embangun dunia baru yang damai, adil, makmur dan saling mempercayai.[2]
Dialog antar agama merupakan suatu sikap toleransi atas perbedaan kita menuju kesamaan pandangan, disamping juga terdapat perbedaan-perbedaan diantara agama yang satu dengan lainnya. Tidak berarti perbedaan-perbedaan itu untuk saling dipertentangkan, tetapi harus kita pandang sebagai langkah kebersamaan melalui pandangan yang obyektif. Perbedaan-perbedaan antara agama hanya terbatas pada perwujudan struktural (eksoterik), seperti cara dalam bidang ritual, bukan pada perwujudan fungsional (esoteris), yaitu prinsip tauhid.
Pesan Ilahi yang dipancarkan melalui firmanNya dalam bentuk wahyu merupakan suatu justifikasi mengenai kebenaran Ilahi. Wahyu merupakan manifes-tasi kebenaran Ilahi yang diilustrasikan dalam ruang dan waktu (kehidupan manusia) sebagai kebenaran yang menyejarah. Petunjuk Tuhan hadir di dunia dalam lingkungan sejarah. Kebenaran Ilahi merupakan suatu realitas obyektif. Sebagai realitas, pesan Ilahi merupakan simbol kebenaran samawi (langit). Ia tetap kebenaran "di seberang sana". Ia bisa dibaca, diceritakan, diajarkan (hermenutik), namun masih tetap "di sana".
Sementara itu, ada "kebenaran lain" atau "kebenaran di sini" sebagai sebuah manifestasi akal manusia yang melahirkan kebenaran keilmuan atau "kebenaran bumi". Hal tersebut ditemukan dan diuji dengan pikiran serta bukti-bukti empirik. Semuanya itu, dipergunakan sebagai ukuran dalam perubahan duniawi saat ini. Karena itu, pesan Tuhan sebagai kebenaran langit adalah kebenaran mutlak dan hanya milik Allah, maka "kebenaran di sana" harus dipertemukan dengan "kebenaran lain yang di sini" atau "kebenaran bumi". Pertemuan dua kebenaran antara "kebenaran langit yang di sana" dengan "kebenaran bumi yang di sini" akan membawa sebuah konsekuensi logis bagi kita dalam membedakan dan meletakkan secara proporsional makna dan penggertian keduanya.
Adapun konsekuensi logis tersebut adalah Pertama, "kebenaran langit yang di sana" dibumikan sehingga berimplikasi pada perubahan dari kebenaran mutlak-obyektif menjadi kebenaran operasional subyektif. Pertemuan kedua kebenaran ini sulit dipertemukan, karena mempunyai paradigmanya sendiri-sendiri, sehingga dari hal inilah dibutuhkan sebuah usaha hermeneutik sebagai usaha untuk mengatasi pertemuan dua kebenaran tersebut. Hanya hermeneutiklah yang dapat memberikan solusi dalam mengatasi jarak antara kebenaran langit yang disana dengan kebenaran bumi yang disini.
Disinilah bahasa Ilahi mengalami reduksi pemahaman dari obyektif yang tidak terikat pada ruang dan waktu menjadi kebenaran operasional subyektif yang terikat oleh ruang dan waktu. Artinya bahwa kebenaran mutlak-obyektif merupakan kebenaran Ilahi yang dalam bahasa Abul Kalam Azad disebut dengan Din, sedangkan kebenaran operasional subyektif merupakan syariah. Titik temu agama-agama sesungguhnya pada tataran al-Din (tauhid, aqidah) sedangkan pada tataran syariahnya, semua agama itu berbeda jalan untuk menuju Tuhan. Jargonnya yang terkenal "al-Din wa al-Syariat mukhtalifat; no difference in Din, Difference only in shari'a; agama tetap satu dan syariat berbeda-beda".[3]
Kedua, "kebenaran bumi yang di sini" dibaca dalam kaidah "tata bahasa Ilahi". Persoalan ini merupakan suatu justifikasi bahwa realitas yang terjadi itu sebagai keputusan Ilahi. Ini berarti bahwa realitas dipahami dengan rasional-empiris di satu pihak dan sejata iman (wahyu, agama) dipihak lain dalam kerangka sebagai ayat Allah. Semuanya sama-sama valid. Ini yang disebut ijtihad dan melahirkan jalan, metode (manhaj) serta syariat yang berbeda-beda.
Sesungguhnya perbedaan itu hanya pada syariat (manhaj) sebagai produk ijtihad, bukan pada al-Din sebagai kebenaran universal-obyektif. Din tidak menerima adanya perbedaan dalam bentuk apapun, Din tetap sama bagi semua umat sepanjang sejarah, akan tetapi karena adanya ruang dan waktu serta kondisi kehidupan yang beragam dan bervariasi, dari satu masa ke masa yang lain, maka diperlukanlah variasi cara dan metode pelaksanaan Din itu, sehingga terjadilah syariat yang berbeda.[4]
Konsep al-Din dalam tradisi esoteris sebagai kebenaran Ilahi membawa pesan keagamaan yang sama dan dibungkus dalam berbagai simbol. Dalam agama Hindu dan Budha dikenal dengan istilah "sanata dharma", yaitu kebijakan abadi yang harus menjadi kontekstualisasi agama itu dalam situasi apapun sehingga agama selalu memanifestasikan diri dalam bentuk etis dan keluhuran moralitas hidup manusia.[5] Dalam tradisi Cina Kuno (Taoisme) terdapat Tao [6] sebagai azas kehidupan manusia yang harus diikuti, jika ia ingin natural (fitrah, suci) sebagai manusia yang bermakna.
Kesamaan pesan Tuhan yang dibungkus dalam institusi agama inilah yang disebut filsafat Perennial. Dengan demikian, Filsafat perennial adalah filsafat yang berusaha ingin membawa kesadaran umat beragama akan adanya kesatuan pesan agama yang dibungkus dalam berbagai wadah agama-agama. Semua bentuk-bentuk simbol dan ritus-ritus serta wadah agama-agama boleh berubah, tetapi yang transendental yang berada di balik keberagaman itu selamanya tidak akan binasa oleh ruang dan waktu. Dari hal inilah, yang menyebabkan semua agama abadi.[7]
Keabadian pesan Ilahi dalam ruang dan waktu apapun merupakan sebuah keniscayaan, karena seetiap manusia dari tingkat peradaban apapun di belahan bumi ini mulai dari yang primitif sampai yang modern semuanya mempunyai sebuah kerinduan spiritual untuk menemui Tuhannya. Inilah pesan Ilahi yang disebut dengan filsafaat perennial. Pesan perennial ini dalam perjalanan sejarah peradaban manusia berbeda-beda realisasinya, sehingga berubah pada setiap agama dan peradaban manusia sesuai dengan bahasanya masing-masing dalam mengistilahkan pesan suci Ilahi yang disebut perennial.
Karena itu, dalam sejarah peradaban, manusia dalam mencari Tuhannya yang suci selalu mengalami proses evolusi mulai dari magis, politeisme sampai monoteisme. Ini semua menunjukkan bahwa upaya pencarian manusia tentang yang Suci selalu terikat oleh ruang dan waktunya sendiri-sendiri. Pencarian ini merupakan implikasi dari kebenaran bumi dalam memahami kebenaran langit yang obyektif, sehingga diwujudkan dalam istilah yang berlainan.
Filsafat perennial dalam pandangan Seyeed Hossein Nasr merupakan suatu tradisi primordial yang memang ada sejak azali langsung melalui wahyu. Dengan demikian, tradisi primordial ini merupakan suatu kebenaran yang sudah menyejarah dan diakui oleh setiap agama, bahwa ada kebenaran abadi yang membentuk agama itu, yaitu kebenaran Ilahiyah. Kebenaran Ilahiyah merupakan kebenaran yang secara esoterisme senantiasa tetap dan abadi (perennial). Itulah realitas asal yang sebenarnya. [8]
Pada dekade terakhir menjelang abad 21 ini terasalah angin baru yang mulai berhembus dalam hubungan antar agama di dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Perubahan tersebut sangat terasa di kalangan antar agama, semangat apolegetik defensip-agresif tergeser oleh semangat dialogis sebagai upaya belajar bersama secara mendalam ke pokok persoalan untuk mendengar suara nurani yang menjiwai pemeluk agama-agama. Bentuk hubungan itu beralih dari berargumentasi untuk mencari menang sendiri kepada dialog (diskusi, musyawarah dan sarasehan) untuk saling melengkapi dan memperkaya satu sama lain untuk mengenal kebenaran, kebaikan dan keindahan yang berasal dari Allah sendiri.[9]
Abad 21 sebagai millenium ke tiga merupakan era kebangkitan agama. Ini ditandai dengan maraknya kehidupan beragama dan maraknya kecenderungan spiritualitas manusia modern yang melanda dunia Barat. Spiritualitas di sini telah tidak terikat oleh institusi-institusi agama, sehingga terkenal dengan jargon seperti yang diungkapkan John Naisbitt dan Patricia Aburdene, "Spirituality, Yes; organized religion, no".[10]
Pada abad 21 masyarakat dunia semakin menyadari adanya pluaralisme. Pluralisme masyarakat modern merupakan sesuatu yang wajar. Tidak ada hidup tanpa pluralisme dalam arti antar umat, kecuali kota-kota tertentu seperti vatikan, Mekah dan Medinah. Tanpa mengurangi keyakinan masing-masing pemeluk agama terhadap keyakinan agamanya sendiri dalam suasana pluralitas ini sangat diperlukan sikap toleran, jujur, terbuka, wajar, adil dan sebagainya. Hanya sikap seperti itulah yang sangat dibutuhkan dalam mencari sebuah keharmonisan hubungan antar agama.
Sikap seperti ini merupakan dialog yang sejati, karena lahir dari sikap keberagaman atau semangat mencari kebenaran yang lapang dan terbuka dalam istilah Nurcholis Madjid disebut dengan al Hanifiyyat al-Samhah. Melalui sikap dan dialog sejati ini, diharapkan akan lahir teologi kerukunan yang fungsional dan menyejarah di tengah pluralitas agama-agama di Indonesia.[11] Teologi kerukunan disini merrupakan sebuah keinginan dari semua pemeluk agama.
Penghayatan dan apresiasi kreatif semua pemeluk agama terhadap agamanya, dalam dimensi sosial justru akan melahirkan semangat bersama dan terciptanya teologi kerukunan dengan suatu keniscayaan. Munculnya teologi kerukunan itu sendiri merupakan sebuah kesadaran historik tentang makna pluralisme agama sebagai sebuah kehendak Tuhan.
Adapun gambaran singkat dalam sistematika pembahasan ini adalah pertama merupakan Pendahuluan ; Kedua merupakan pembahasan filsafat perennial dalam perspektif historis sebagai pokok bahasan dengan sub judul seluk beluk filsafat perennial dan filsafat perennial hubungannya dengan studi perbandingan agama.
Bab ketiga merupakan pembahasan mengenai pluralisme dan dialog antar agama dengan sub bahasan pokok adalah pluralisme agama dan budaya; sub-sub bahasannya adalah dinamika kehidupan beragama, agama, konflik dan integrasi serta tantangan dewasa ini; sub bahasan pokok lainnya adalah dialog dan kerukunan antar agama dengan sub-sub bahasan; latar belakang dialog, bentuk-bentuk dialog, hambatan dialog dan kerukunan.
Bab keempat merupakan analisa mengenai Filsafat perennial dan titik temu agama-agama dengan sub bahasan pokok adalah pengantar; Absolutisme (ideologisasi) agama dan titik temu agama-agama dalam perspektif perennial
Bab ke lima sebagai penutup dari seluruh rangkaian penelitian dengan sub bahasa pokok adalah kesimpulan dan saran-saran.
Sebagai bahan rujukan untuk referensi dalam laporan penelitian ini penulis sertakan daftar kepustakaan.
OoO Rechan OoO
[1] Pemahaman agama secara struktural sebagai penyerahan total kepada Allah, Tuhan pencipta alam ini menurut Nurcholis Madjid dalam pengertian generik disebut Islam. Baca Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan peradaban, (Jakarta: Paramadina,1992), 425 - 445. Bandingkan dengan pandangan DZH. Baneth yang beranggapan bahwa perkataan "Islam" merujuk pada monotheisme (mengabdi hanya pada Allah semata) merupakan lawan politheisme. Karena itu, Allah memberi nama yang sama pada monotheisme kuno (millah Ibrahim yang disebut Hanif) dengan nama agama yang dibawa oleh nabi Muhammad. Persoalannya, apakah nabi Muhammad ini yang memindahkan pertama kali kata "aslama" (kata dasar dari Islam) pada bidang keagamaan ataukah sudah dipergunakan sebelum Nabi Muhammad ? Berdasarkan hal tersebut, mungkin kata "aslama" telah digunakan sejak pra nabi (Yahudi dan Nasrani). Ini karena, keduanya juga agama samawi yang monotheistik. Sehingga lambat laun, kata "aslama" (hanif, Islam) memperoleh arti yang baru sebagai "penganut Muhammad". Itulah terminologi yang berkembang di Barat saat ini. Lihat DZH. Baneth, Apakah yang dimaksud Muhammad Saw. dengan menamakan Islam ? dalam Herman Leonardo Beck dan NJG. Kaptein (redaktur), Pandangan Barat terhadap Islam lama, (Jakarta: INIS IV, 1989), 1 - 10. Baca juga Frithjof Schoun, The Trancendent Unity of Religions, ( London : Faber and Faber, tt.), 103 - 113.
[2]Mukti Ali, Dialog dan kerja sama agama dalam menanggulangi kemiskinan, dalam Weinata Sairin (editor), Dialog antar umat beragama: membangun pilar-pilar Keindonesiaan yang kokoh, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1994), 11 - 16
[3] Jargon al-Din wa al Syariat mukhtalifat merupakan suatu bukti bahwa titik temu agama-agama hanya melalui kesatuan wahyu sebagai "kebenaran langit". Hal ini karena, dalam kesatuan wahyu tersebut terlihat dengan jelas adanya kesamaan aqidah dan pengakuan nilai-nilai universal pesan maupun petunjuk Tuhan. Petunjuk Tuhan melalui "kebenaran langit" tetap sama pada setiap ruang dan waktu yang disampaikan kepada manusia dengan cara yang sama. Pesan "kebenaran langit" yang disampaikan secara substansial adalah bahwa kita harus beriman kepada Allah dan berbuat baik sesuai dengan iman kita. Inilah yang ditawarkan agama kepada manusia sepanjang sejarah. Pesan inilah yang disebut al-Din oleh Abul Kalam Azad. Sedangkan syariat merupakan perbedaan dalam mengoprasionalkan pesan "kebenaran langit" seperti perbedaan tata ritual antara agama yang satu dengan agama lainnya. Untuk lebih jelasnya baca Abul Kalam Azad, The Turjuman al-Qur'an, vol I, (Hyderabad : DR. Syeed Abd latif's trust for quranic and other cultural studies, 1981), 153 - 160
[4] I b i d.
[5] Lihat f Schoun, The Transendent, 103 - 113 Bandingkan dengan Budhy Munawar Rahman, Kebijakan Perennial dan kritik terhadap modernisme, Kompas tanggal 22 Mei 1993
[6] Taoisme dalam tradisi Cina kuno terdapat dua pemahaman antara taoisme sebagai doktrin agama dan doktrin Filsafat. Tao dalam Taoisme berarti jalan, kebenaran (the way, the truth). Tao sebagai kebenaran Ilahi yang universal (doktrin agama) disebut Tao Chiao, sedangkan sebagai doktrin filsafat disebut Tao Chia. Baca Fung yu Lan, A History of Chinese Philosophy, dalam Jaroslav Pelikan (ed.), The World treasury of modern religious thought, (Toronto : Little, Brown and Company, 1990), 578 - 580. Ajaran Taoisme dengan kitab sucinya Tao Te King ini terdiri dari 5000 kata yang terbagi atas 81 syair pendek yang di bawa oleh Lao Tse. Lihat Lao Tse, Tao Te King, alih bahasa Umat Tri Dharma, 1985
[7] Lihat Frithjof Schoun, Religio Perennis dalam Light on the ancient world, (London : trans. Lord Northbourne 1965), 136 - 144.
[8] Seyyed Hossein Nasr, Filsafat Perennial: persepektif alternatif untuk studi agama, Ulumul Qur'an, Vol. III, no. 3 (1992), 89 - 91
[9]Semangat apolegetik defensip-agresif pernah ditampakan oleh para agamawan antar agama, sehingga muncul saling curiga antar pemeluk agama. Dalam dialog antar agamapun pada dekade tahun 1960 - 1980 semangat ini masih tampak, sehingga kerukunan yang diharapkan atidak pernah terwujud. Sebab para agamawan ingin menang sendiri. Kendatipun dialog antar agama sering dilaksanakan yaitu pada 1961 di Bogor, 1965 di Jogjakarta, 1967 di Jakarta. Sedangkan dialog tingkat Nasional dilaksanakan di Surabaya 1972. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah melalui Presiden menetapkan Keppres no 7 thn 1979 sebagai bentuk kepedulian pemerintah.
[10] John Naisbitt dan Patricia Aburdene, Megatrend 2000: ten new direction for the 1990's, Avon books, New York, 1990, hal. 295
[11] yaitu sebuah pemaknan yang secara generik menganggap bahwa agama adalah sama berasal dari Tuhan, sehingga terkenal dengan sebuah Satu Tuhan untuk semua agama. Sebutan ini menunjukkan bahwa agama itu merupakan sebuah operasionalisasi dari keimanan manusia yang selalu sama sepanjang sejarah manusia. Lihat Madjid, Islam, doktrin., 10 - 12.