Rabu, 11 Mei 2011

PERSPEKTIF JAWA TENTANG TUHAN.

Tuhan adalah “Sangkan Paraning Dumadi”. IA adalah sang Sangkan sekaligus sang Paran, karena itu juga disebut Sang Hyang Sangkan Paran. Ia hanya satu, tanpa kembaran, dalam bahasa Jawa dikatakan Pangeran iku mung sajuga, tan kinembari . Orang Jawa biasa menyebut “Pangeran” artinya raja, sama dengan pengertian “Ida Ratu” di Bali. Masyarakat tradisional sering mengartikan “Pangeran” dengan “kirata basa”. Katanya pangeran berasal dari kata “pangengeran”, yang artinya “tempat bernaung atau berlindung”, yang di Bali disebut “sweca”. Sedang wujudNYA tak tergambarkan, karena pikiran tak mampu mencapaiNYA dan kata kata tak dapat menerangkanNYA. Didefinisikan pun tidak mungkin, sebab kata-kata hanyalah produk pikiran hingga tak dapat digunakan untuk menggambarkan kebenaranNYA. Karena itu orang Jawa menyebutnya “tan kena kinaya ngapa” ( tak dapat disepertikan). Artinya sama dengan sebutan “Acintya” dalam ajaran Hindu. Terhadap Tuhan, manusia hanya bisa memberikan sebutan sehubungan dengan perananNYA. Karena itu kepada NYA diberikan banyak sebutan, misalnya: Gusti Kang Karya Jagad (Sang Pembuat Jagad), Gusti Kang Gawe Urip (Sang Pembuat Kehidupan), Gusti Kang Murbeng Dumadi (Penentu nasib semua mahluk) , Gusti Kang Maha Agung (Tuhan Yang Maha Besar), dan lain-lain.Sistem pemberian banyak nama kepada Tuhan sesuai perananNYA ini sama seperti dalam ajaran Hindu. “Ekam Sat Viprah Bahuda Vadanti” artinya “Tuhan itu satu tetapi para bijak menyebutNYA dengan banyak nama”.

Hubungan Tuhan dengan Ciptaannya.

Tentang hubungan Tuhan dengan ciptaanNYA, orang Jawa menyatakan bahwa Tuhan menyatu dengan ciptaanNYA. Persatuan antara Tuhan dan ciptaannya itu digambarkan sebagai “curiga manjing warangka, warangka manjing curiga”, seperti keris masuk ke dalam sarungnya, seperti sarung memasuki kerisnya. Meski ciptaannya selalu berubah atau “menjadi” (dumadi), Tuhan tidak terpengaruh oleh perubahan yang terjadi pada ciptaanNYA. Dalam kalimat puitis orang Jawa mengatakan: Pangeran nganakake geni manggon ing geni nanging ora kobong dening geni, nganakake banyu manggon ing banyu ora teles dening banyu. Artinya, Tuhan mengadakan api, berada dalam api, namun tidak terbakar, mencipta air bertempat di air tetapi tidak basah. Sama dengan pengertian wyapi, wyapaka dan nirwikara dalam agama Hindu. Oleh karena itu Tuhan pun disimbolkan sebagai bunga “teratai” atau “sekar tunjung”, yang tidak pernah basah dan kotor meski bertempat di air keruh. Ceritera tentang Bima bertemu dengan “Hanoman”, kera putih lambang kesucian batin, dalam usahanya mencari “tunjung biru” atau “teratai biru’ adalah sehubungan dengan pencarian Tuhan. Menyatunya Tuhan dengan ciptaanNYA secara simbolis juga dikatakan “kaya kodhok ngemuli leng, kaya kodhok kinemulan ing leng”, seperti katak menyelimuti liangnya dan seperti katak terselimuti liangnya. Pengertiannya sama dengan istilah immanen sekaligus transenden dalam filsafat modern, yang dalam Bhagavad Gita dikatakan “DIA ada padaKU dan AKU ada padaNYA”.

Dengan pengertian demikian maka jarak antara Tuhan dan ciptaannya pun menjadi tak terukur lagi. Tentang hal ini orang Jawa mengatakan: “adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan”, artinya jauh tanpa batas, dekat namun tak bersentuhan. Dari keterangan di atas jelaslah bahwa pada hakekatnya filsafat Jawa adalah Hinduisme, yang monotheisme pantheistis. Karena itu pengertian Brahman Atman Aikyam, atau Tuhan dan Atman Tunggal, juga dinyatakan dengan kata-kata “Gusti lan kawula iku tunggal”. Di sini pengertian Gusti adalah Tuhan yang juga disebut Ingsun, sedang Kawula adalah Atman yang juga disebut Sira, hingga kalimat “Tat Twam Asi” pun secara tepat dijawakan dengan kata kata “Sira Iku Ingsun” atau “Engkau adalah Aku”, yang artinya sama dengan kata-kata “Atman itu Brahman”. Pemahaman yang demikian itu tentunya memungkinkan terjadinya salah tafsir, karena menganggap manusia itu sama dengan Tuhan. Untuk menghindari pendapat yang demikian, orang Jawa dengan bijak menepis dengan kata-kata “ya ngono ning ora ngono”, yang artinya “ya begitu tetapi tidak seperti itu”. Mungkin sikap demikian inilah yang menyebabkan sesekali muncul anggapan bahwa pada dasarnya orang Jawa penganut pantheisme yang polytheistis, sebab pengertian keberadaan Tuhan yang menyatu dengan ciptaannya ditafsirkan sebagai Tuhan berada di apa saja dan siapa saja, hingga apa saja dan siapa saja bisa diTuhankan. Anggapan demikian tentulah salah, sebab Brahman bukan Atman dan Gusti bukan Kawula walau keberadaan keduanya selalu menyatu. Brahman adalah sumber energi, sedang Atman cahayanya. Kesatuan antara Krisna dan Arjuna oleh para dalang wayang sering digambarkan seperti “api dan cahayanya”, yang dalam bahasa Jawa “kaya geni lan urube”

Upaya mencari Tuhan

Berdasar pengertian bahwa Tuhan bersatu dengan ciptaanNYA itu, maka orang Jawa pun tergoda untuk mencari dan membuktikan keberadaan Tuhan. Mereka menggambarkan usaha pencariannya dengan memanfaatkan sistim simbol untuk memudahkan pemahaman. Sebagai contoh pada sebuah kidung dhandhanggula, digambarkan sebagai berikut: Ana pandhita akarya wangsit, kaya kombang anggayuh tawang, susuh angin ngendi nggone, lawan galihing kangkung, watesane langit jaladri, tapake kuntul nglayang lan gigiring panglu, dst. Di sini jelas bahwa “sesuatu” yang dicari itu adalah susuh angin (sarang angin), ati banyu (hati air), galih kangkung (galih kangkung), tapak kuntul nglayang (bekas burung terbang), gigir panglu (pinggir dari globe), wates langit (batas cakrawala), yang merupakan sesuatu yang “tidak tergambarkan” atau “tidak dapat disepertikan” yang dalam bahasa Jawa “ tan kena kinaya ngapa” yang pengertiannya sama dengan “Acintya” dalam ajaran Hindu.

Dengan pengertian “acintya” atau “sesuatu yang tak tergambarkan” itu mereka ingin menyatakan bahwa hakekat Tuhan adalah sebuah “kekosongan”, atau “suwung”, Kekosongan adalah sesuatu yang ada tetapi tak tergambarkan. Semua yang dicari dalam kidung dhandhanggula di atas adalah “kekosongan” Susuh angin itu “kosong”, ati banyu pun “kosong”, demikian pula “tapak kuntul nglayang” dan “batas cakrawala”. Jadi hakekat Tuhan adalah “kekosongan abadi yang padat energi”, seperti areal hampa udara yang menyelimuti jagad raya, yang meliputi segalanya secara immanen sekaligus transenden, tak terbayangkan namun mempunyai energi luar biasa, hingga membuat semua benda di angkasa berjalan sesuai kodratnya dan tidak saling bertabrakan. Sang “kosong” atau “suwung” itu meliputi segalanya, “suwung iku anglimputi sakalir kang ana”. Ia seperti udara yang tanpa batas dan keberadaannya menyelimuti semua yang ada, baik di luar maupun di dalamnya.

Karena pada diri kita ada Atman, yang tak lain adalah cahaya atau pancaran energi Tuhan, maka hakekat Atman adalah juga “kekosongan yang padat energi itu”. Dengan demikian apabila dalam diri kita hanya ada Atman, tanpa ada muatan yang lain, misalnya nafsu dan keinginan, maka “energi Atman” itu akan berhubungan atau menyatu dengan sang “sumber energi”. Untuk itu yang diperlukan dalam usaha pencarian adalah mempelajari proses “penyatuan” antara Atman dengan Brahman itu. Logikanya, apabila hakekat Tuhan adalah “kekosongan” maka untuk menyatukan diri, maka diri kita pun harus “kosong”, Sebab hanya “yang kosonglah yang dapat menyatu dengan sang maha kosong”. Caranya dengan berusaha “mengosongkan diri” atau “membersihkan diri” dengan “menghilangan muatan-muatan yang membebani Atman” yang berupa berbagai nafsu dan keinginan. Dengan kata lain berusaha membangkitkan energi Atman agar tersambung dengan energi Brahman. Dengan uraian di atas maka cara yang harus ditempuh adalah melaksanakan “yoga samadi”, yang intinya adalah menghentikan segala aktifitas pikiran beserta semua nafsu dan keinginan yang membebaninya. Sebab pikiran yang selalu bekerja tak akan pernah menjadikan diri “kosong”. Karena itu salah satu caranya adalah dengan “Amati Karya”, menghentikan segala aktifitas kerja.
Apabila “kekosongan” merupakan hakekat Tuhan, apakah Padmasana, yang di bagian atasnya berbentuk “kursi kosong”, dan dianggap sebagai simbol singgasana “Sang Maha Kosong” itu adalah perwujudan dalam bentuk lain dari apa yang dicari orang Jawa lewat kidung-kidung kuna itu? Apa sebabnya di Jawa tidak ada dan baru diwujudkan dalam bentuk bangunan ketika leluhur Jawa berada di Bali? Mungkin saat itu di Jawa memang tidak membutuhkan hal itu, karena masyarakat Jawa lebih mementingkan “pemujaan leluhur”, yang dianggap sebagai “pengejawantahan Tuhan”. Kata-kata Wong tuwa iku Pangeran katon atau Orang tua (leluhur) itu Tuhan yang nampak, adalah bukti adanya kepercayaan tersebut. Itulah sebabnya di Jawa tidak ditemukan Padmasana, tetapi “lingga yoni”. Baru setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, Padmasama mulai ada di Bali. Konon sementara sejarawan berpendapat bahwa Padmasana adalah karya monumental Danghyang Dwijendra, seorang Pandita Hindu yang pindah dari Jawa ke Bali, setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit.

Sebenarnya tujuan umat Hindu ketika bersembahyang di pura, adalah untuk menjalani “proses” penyatuan diri dengan Tuhan dengan melaksanakan “yoga” secara sederhana. Karena itu setiap sembahyang tentu diawali dengan “pranayama” yang merupakan salah satu cara untuk “mengosongkan diri” dengan “mengatur irama pernafasan” Hasil minimal yang dicapai adalah “mempertenang diri” ketika “memuja Tuhan” dengan bersimpuh di hadapan Padmasana, yang diyakini sebagai tahta “Sang Hyang Widhi”. Ketika memuja itulah mereka berusaha “mengosongkan diri” dengan berkonsentrasi untuk menyatukan diri dengan “Sang Maha Kosong”. Dengan demikian mereka berharap dapat menyatu dalam rasa, yaitu rasa damai sebenarnya. Menurut orang Jawa, apabila tujuan “samadi” itu berhasil, terdapat tanda-tanda khusus. Konon, ketika puncak ke “hening” an tercapai, orang serasa terjun ke suasana “heneng” atau “sunya”, tenggelam dalam suasana “kedamaian batin sejati, rasa damai yang akut”, yang dikatakan “manjing jroning sepi”, atau “rasa damai yang tak terkatakan”. Suasana demikian terjadi hanya sesaat, yang oleh orang Jawa digambarkan secara indah dengan kata-kata “tarlen saking liyep layaping aluyup, pindha pesating supena sumusup ing rasa jati” (ketika tiba di ambang batas kesadaran, hanya seperti kilasan mimpi, kita seolah menyelinap ke dalam rasa sejati). Di sini makna kedamaian adalah “kekosongan sejati di mana jiwa terbebas dari beban apa pun”, yang diistilahkan dengan suasana “hening heneng” atau “kedamaian sejati”. Mungkin suasana demikian itulah yang dalam agama Hindu disebut “sukha tan pawali dukha”. Kebahagian abadi yang tanpa sedikitpun rasa duka. Terbebas dari hukum rwa bhinneda.

Kini masalahnya adalah siapa saja yang terlibat dalam proses penyatuan tersebut? Pertanyaan ini akan dijawab dengan tegas bahwa Sang Atmanlah diminta membimbingnya. Atman adalah cahaya Brahman, Ia Maha Energi yang ada pada diri setiap manusia, karena itu oleh orang Jawa diberi sebutan “Pangeraningsun” atau “Tuhan yang ada dalam diriku”. Karena itulah ketika kita mengawali proses “kramaning sembah” dengan pertama-tama menyebut “OM Atma Tattvatma”, orang Jawa menganggapnya sebagai ganti dari kata-kata “Duh Pangeraningsun”, yang sebelumnya amat dikenal. Namun sebelum Atman kita jadikan kawan utama dalam usaha penyatuan itu, terlebih dulu kita harus yakin bahwa ia adalah energi luar biasa. Kehebatan energi Atman itu secara simbolis digambarkan sebagai berikut: Gedhene amung sak mrica binubut nanging lamun ginelar angebegi jagad, artinya: Ia hanya sebesar serbuk merica, namun bila dikembangkan (triwikrama) seluruh jagad raya akan tergenggam olehnya. Pengertian energi ini dalam istilah Jawa disebut “geter”. Namun untuk memanfaatkannya orang harus mengenalnya lebih jauh.

Lebih lanjut ajaran ini menyebutkan bahwa pada diri manusia pun terdapat 4 (empat) kekuatan yang selalu menjadi kawan dalam perjalanan hidup, di saat suka maupun duka, hingga layak disebut “saudara”. Masing-masing ditandai dengan simbol warna putih, merah, kuning dan hitam (catur sanak). Posisi mereka di dalam jiwa manusia adalah lekat dengan Atman, membuat cahayanya membentuk warna “pelangi”. Gradasi warnanya menunjukkan kadar “karma wasana” seseorang. Konon peranan mereka amat menentukan. Karena itu mereka harus selalu diperhatikan dan dipelihara, sebab bila ditinggalkan dan tak terurus, akan menjadi pengganggu yang amat berbahaya. Bandingkan dengan pengertian sa ba ta a i dalam ajaran Hindu. Dalam setiap “proses” meditasi mereka perlu diberitahu, setidak-tidaknya disebut namanya agar ikut membantu.

Pada dasarnya proses penyatuan (meditasi) itu dimaksudkan sebagai usaha memperpendek jarak antara Manusia dengan Tuhan, antara Sira dengan Ingsun, atau antara Brahman dengan Atman, yang dalam istilah Jawa disebut ngudi cinaket ing Widhi, artinya berusaha agar semakin dekat dengan Tuhan (caket=dekat). Di sini jelas bahwa pemanfaatan energi Atman mutlak perlu, tetapi ternyata sebagian orang ada yang tidak mengetahui bahwa pada diri kita ada Atman, Sang Maha Energi itu. Mungkin karena dasar filsafatnya memang berbeda. Kepada mereka, yang tidak mempercayai adanya Atman itu, sebuah kidung sengaja diciptakan Apek banyu pikulane warih, apek geni dedamaran, kodhok ngemuli elenge, tanpa suku lumaku, tanpa una lan tanpa uni, dst. Artinya terlihat ada orang mencari air, padahal ia telah memakai air sebagai pikulan, dan ada yang mencari api, padahal telah membawa lentera, katak menyelimuti liangnya, tanpa kaki ia berjalan, tanpa rasa dan tanpa suara, dst. Rupanya mereka tidak mengerti bahwa Gusti dan Kawula Tunggal, hingga tidak menyadari bahwa yang dicari sebenarnya telah ada dalam dirinya sendiri, meski dengan nama yang berbeda. Mereka tidak tahu bahwa warih adalah air dan damar adalah api, sama halnya dengan Atman adalah Brahman. Ia immanen sekaligus transenden, ia bisa berjalan tanpa kaki, dan tanpa suara maupun rasa. Pendapat bahwa Brahman sama dengan Atman, oleh orang Jawa ditunjukkan dengan perkataan “kana kene padha bae” artinya “sana dan sini sama saja”. Ketidaktahuanlah yang menyebabkan orang kebingungan. Sebuah canda sederhana namun menyengat.

Semua hal yang diterangkan di atas adalah ajaran Hindu. Namun bagi mereka, yang tidak mau berusaha mencari “akarnya” dan tidak mau berlajar Hinduisme, menganggapnya sebagai “agama Jawa”. Dan karena “agama Jawa” tidak ada, maka mereka menempatkannya sebatas faham, yaitu faham “kejawen” dan eksis sebagai aliran kepercayaan.


Oleh Adi Soeripto










Titik temu agama-agama, polemik Anand vs pengkritiknya
Oleh Sukidi



Polemik antara Anand Krishna dengan para pengkritiknya berkisar pada kata-kata kunci: “samakah semua agama?”, “absahkah setiap agama sebagai jalan menuju Tuhan mengingat agama itu sendiri berwajah plural?”, “otentikkah hanya ada satu kebenaran dan satu keselamatan?” dan “bagaimana kebenaran dan keselamatan di luar agama kita?”
Dalam buku Islam Esoteris, Anand menegaskan bahwa “bagi para sufi, para mistik, para yogi, agama tak lebih dari sekadar jalan menuju tujuan akhir, yaitu Allah, Tuhan, Buddha, Bapa di Sorga, Ahura Mazda, Satnaam. Sampai di tujuan, mereka saling bisa berpelukan. Luar biasa ya? Kita lewat jalan berbeda-beda, tapi bertemu di sini!”

Lanjut Anand, “Yang mempermasalahkan jalan dan mengatakan bahwa jalannya yang paling baik dan paling benar, sesungguhnya patut dikasihani. Mereka belum sampai pada tujuan. Mereka masih dalam perjalanan!”

Sementara para pengkritiknya, seperti Daud Rasyid (Republika, 23 Agustus 2000) menegaskan 'Hanya satu Kebenaran', dan menilai misi tulisan Anand ingin bermuara pada titik kesimpulan 'semua agama itu sama'.

Nah, saya tidak akan memperpanjang deretan polemik ini yang mungkin tidak akan selesai. Tapi, saya akan berusaha mengulas tuntas polemik itu dari sudut pandang saya sendiri, yang lebih mengedepankan paradigma pemikiran inklusifistik dan bahkan pluralistik.

Jalan Menuju Tuhan

Anand berpendapat jalan menuju Tuhan itu plural, sementara pengkritiknya, seperti Daud Rasyid berkeyakinan bahwa jalan itu tunggal.

Sejauh pengamatan dan riset yang saya lakukan, dewasa ini ada mainstream kuat di kalangan cendekiawan Muslim untuk menafsirkan Islam tidak saja sebatas agama formal, tetapi justru ditafsirkan sebagai jalan, sebagaimana dipahami dari berbagai istilah yang digunakan kitab suci, seperti shirath, sabil, syari'ah, thariqah, minhaj, dan mansakh. Kesemuanya itu, menurut cendekiawan Muslim yang sangat fasih berbicara ke-Islaman dan ke-Indonesia-an, Prof Nurcholish Madjid, mengandung makna ‘jalan’, dan merupakan metafor-metafor yang menunjukkan bahwa Islam adalah jalan menuju pada perkenan Allah (lihat Nurcholish, Islam, Doktrin, dan Peradaban, Paramadina, 1995, hal 9).

Di sinilah, perlu ditegaskan bahwa Islam itu hanyalah ‘jalan’ atau ‘sarana’ menuju Tuhan sebagai the ultimate reality dalam hidup ini. Sementara jalan menuju Tuhan itu amat lebar dan plural. “Satu Tuhan, Banyak Jalan,” meminjam istilah Prof. Nurcholish Madjid (“Dialog di Antara Ahli Kitab: Sebuah Pengantar” dalam George B Grose & Benjamin J Hubbaard (ed), Tiga Agama Satu Tuhan, Mizan, 1998, hal xix), atau kalau di balik kalimatnya berbunyi “Ada banyak jalan menuju Allah," dalam ungkapan Blu Greenberg (Ibid, hal xxxv). Dipertegas lagi oleh Donald P Merrifield SJ bahwa, “Kita semua menuju Allah yang sama, meski ditempuh melalui 'jalan' yang berbeda-beda.” (Ibid, hal xiiii) Bahkan, Al-Qur’an sendiri mengisyaratkan bahwa pada setiap kaum, ada penunjuk jalan menuju kebenaran, sebagaimana tersurat dalam Q.S. al-Ra’d/13:7 bahwa, “Dan pada setiap golongan, ada seorang yang memberi bimbingan.”

Huston Smith dalam karya terbaiknya, The Religions of Man (Agama-agama Manusia) mengungkapkan pandangan keagamaan yang sangat liberal dari seorang mistikus Hindu terkemuka, Sri Ramakrishna, yang nantinya hanya semakin meneguhkan pandangan bahwa agama sekadar jalan menuju Tuhan.

“Tuhan telah menciptakan berbagai agama untuk kepentingan berbagai pemeluk, waktu dan negeri. Semua ajaran hanya merupakan berbagai jalan, tetapi suatu jalan sama sekali bukanlah sama dengan Tuhan itu sendiri. Sesungguhnya, seseorang akan mencapai Tuhan jika ia mengikuti jalan mana pun juga, dengan pengabdian diri yang sepenuh-penuhnya. Kita bisa memakan sepotong kue dengan lapisan gula, baik secara lurus maupun miring. Rasanya akan tetap enak, dengan lapisan apa pun juga. Sebagaimana zat yang satu dan sama, air, disebut dengan berbagai nama oleh berbagai bangsa, yang satu menyebutnya water, yang lain eau, yang ketiga aqua, yang lainnya lagi pani. Begitulah Kebahagian-Kecerdasan-Yang Abadi itu disebut sebagian orang sebagai God, oleh sebagian lagi sebagai Allah, oleh yang lain sebagai Yehovah, dan oleh lainnya sebagai Brahman.” (Huston Smith, Agama-agama Manusia, Yayasan Obor Indonesia, 1991, hal 102-3).

Maka, di tengah pluralitas agama, jalan itu pun diekspresikan (umat beragama) melalui berbagai bentuk (jalan yang berbeda). Misalnya, dalam agama Hindu dikenal konsep Sanatana Dharma, dharma abadi, yakni kebajikan yang harus menjadi dasar kontekstualisasi agama dalam situasi apa pun, sehingga agama selalu memanifestasikan diri dalam bentuk etis dan keluhuran hidup manusia. Dalam agama Buddha pun, juga diperkenalkan konsep Dharma yang merupakan ajaran (jalan) untuk sampai pada The Buddha-Nature.

Dalam analogi-komprehensifnya, Sanatana Dharma adalah apa yang diwacanakan pemikir New Age Seyyed Hossein Nasr sebagai ‘Tradisi Primordial’, yakni tradisi yang telah dan akan tetap menghidupi kemanusiaan yang ada. Baik sanatana dharma maupun Sophia perennis (yang menjadi filsafatnya New Agers), sangat terkait dengan konsep ‘Tradisi Primordial’, yaitu asal eksistensi manusia.

Menurut Nasr, “Karena setiap yang dimulai dari Yang Asal, ia adalah Yang Asal itu sendiri. Bentuk-bentuk pewahyuan seperti ini adalah perwujudan Tradisi Primordial dalam dimensi manusiawi. Yakni, bentuk-bentuk yang sesuai dengan lingkungan kontekstual tertentu dari manusia yang menjadi tujuan pewahyuan tersebut. Ia adalah manifestasi kemungkinan Ilahi (Divine Possibilities) dalam tataran manusia.” (Seyyed Hossein Nasr, “Tentang Tradisi” dalam AN Permata [ed], Perennialisme, Melacak Jejak Filsafat Abadi, Tiara Wacana, 1996, hal 147).

Baik Sanatana Dharma ataupun ‘Tradisi Primordial’ itu, tak lain adalah apa yang dikenal dalam agama Islam sebagai al-din, yang berarti ‘ikatan’ (religere) pada Wujud Yang Absolut (Allah), yang harus menjadi dasar (jalan) dalam beragama bagi seorang Muslim. “Sesungguhnya ikatan (al-din) di sisi Allah adalah sikap pasrah (islam),” demikian firman Tuhan dalam Q.s., Al-Imran/3:19).

Begitu pula, jalan dalam tradisi Taoisme lebih dikenal dengan konsep ‘Tao’, yang secara generik bermakna ‘jalan setapak’ atau ‘jalan’ an sich, sebagai asas kehidupan manusia yang harus diikuti, sekiranya ia (manusia) mau natural sebagai manusia. Terkait dengan tafsiran ‘Tao’ sebagai ‘jalan’, menurut Huston Smith ada tiga penafsiran untuk memahami ‘jalan’ ini;
Pertama, Tao adalah jalan dari kenyataan terakhir. Tao ini tidak dapat ditangkap, karena ia melampaui jangkauan pancaindera. Dalam kitab Tao Te Ching ditegaskan bahwa, “Tao yang dapat dibayangkan bukanlah Tao yang sesungguhnya”. Dengan sifatnya yang mahabesar dan transenden, Tao yang paling agung ini adalah dasar bagi semua yang ada. Tao berada di belakang semuanya, dan di bawah semuanya, sebagai rahim dari mana berasal semua yang ada dan ke mana semua yang ada itu kembali. Ia adalah rahasia kehidupan yang paling besar, rahasia dari segala rahasia, gerbang rahasia semua kehidupan. Dalam hal ini, populer semboyan Tao yang sangat menggelitik: “Mereka yang mengetahui tidak akan bicara, sedangkan mereka yang bicara tidak mengetahui”.
Kedua, meskipun Tao bersifat transenden, Ia juga imanen. Dalam hal kedua inilah, Tao merupakan jalan alam semesta, sebagai kaidah, irama, dan kekuatan pendorong dalam seluruh alam, serta asas pranata yang berada di belakang semua yang ada. Pada arti inilah, para Taois dikenal luas sebagai orang yang hidup dengan mengikuti 'jalan alam'.
Ketiga, Tao menunjuk pada jalan bagaimana seharusnya manusia menata hidupnya, agar selaras dengan cara beroperasinya alam semesta ini (Huston Smith, op cit, hal 233-4). Dalam arti terakhir ini, Tao dipakai khususnya oleh kalangan New Agers sebagai way of life. Karenanya, paradigma The Tao of... yang menjadi trend New Age, begitu ekspresif mewarnai penerbitan judul-judul buku ilmiah dan populer, sehingga menjadikan Tao sebagai jalan yang seharusnya diikuti oleh generasi New Age.

Jalan Itu plural, tetapi juga lurus

Begitulah, jalan kehidupan itu luas dan plural. Ia bukan sebagai tujuan, tetapi hanya sekedar 'jalan' menuju Tuhan. Meskipun secara lahiriah, jalan itu amat beragam dan nampak sekali terjadinya perbedaan, bahkan pertentangan sekalipun, tetapi secara 'esoterik' (kata Huston Smith), atau 'esensial' (kata Bhagavan Das), atau 'transenden' (kata Seyyed Hossein Nasr, kaum perennialis, dan tentu saja menjadi jalan pilihan di kalangan New Agers), semua itu akan mencapai 'kesatuan transendental (agama-agama) yang sama' (the transcendent unity of religions). Meminjam istilah Paul F Knitter dalam No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes towards the World Religions, (1985), bahwa semua agama (sebagai 'jalan' menuju Tuhan) adalah relatif (all religions are relative), -- yakni terbatas (limited), parsial (partial) dan incomplete --, tetapi sekaligus all are essentially same, yakni sama-sama sebagai 'jalan' penyelamatan kehidupan rohani manusia menuju Tuhan, meskipun ditempuh melalui 'jalan' yang berbeda-beda.

Seperti Yesus Kristus sebagai bentuk perwujudan dari 'Kehadiran' Yang Ilahi, merupakan jalan keselamatan bagi orang-orang Kristen, atau Buddha bagi para pemeluk agama Buddha, atau Rama sebagai jalan keselamatan bagi umat Hindu, atau juga Al-Qur'an yang oleh Frithjof Schuon dinilai sebagai wujud dari 'Kebenaran dan kehadiran' sekaligus, merupakan petunjuk keselamatan bagi umat Islam, dan seterusnya. Maka, sangat wajar sekiranya 'jalan' itu luas, tetapi juga lurus. Jalan itu 'luas', berarti dapat menampung semua pejalan dan semua aliran (mazhab) yang berbeda-beda, tetapi juga 'lurus' menuju Tuhan, selama bercirikan 'kedamaian, keamanan dan keselamatan'. Semua jalan yang mencirikan hal tersebut pasti bermuara pada jalan yang 'lurus', yang dalam bahasa al-Qur'an diistilahkan Al-Shirath Al-Mustaqim (jalan yang 'luas', lagi 'lurus'). Meskipun jalan yang ditempuh luas, beragam, sekaligus plural, tetapi semuanya (umat beragama) akan sama-sama 'lurus' ke arah vertikal menuju Tuhan 'Yang Maha Esa', 'Yang Kudus', yang dalam bahasa teologis-Islam dinamakan Allah. Maka, Tuhan adalah 'sangkan paran' (asal dan tujuan) hidup (hurip), bahkan seluruh makhluk (dumadi).

Maka menarik sekali apa yang dikemukakan Bhagavan Das dalam The Essential Unity of All Religions (1966, hal 604), bahwa kita semua para penganut agama akan bertemu dalam the road of life (jalan kehidupan) yang sama. Lanjut Bhagavan; "Yang datang dari jauh, yang datang dari dekat, semua kelaparan dan kehausan. Semua membutuhkan roti dan air kehidupan, yang hanya bisa diperoleh lewat kesatuan dengan The Supreme Spirit."

Titik temu esoteris agama-agama

Seyyed Hossein Nasr sendiri, lewat karyanya Knowledge and the Sacred, (New York, 1989), memaparkan wacana-wacana metafisik yang mempertemukan agama-agama dan tradisi spiritual yang otentik pada satu titik kesatuan transenden. Yakni, Tuhan, yang dicari (umat beragama) melalui beragam agama (sebagai jalan-jalan menuju Tuhan). Inilah inti dasar perspektif filsafat perennial. Maka, bila disebut perennial religion (agama dan atau tradisi perennial), maksudnya adalah ada hakikat yang sama dalam setiap agama. Rumusan filosofisnya: the heart of religion or the religion of heart, yang sudah pernah saya ulas tuntas di satunet.com.

Inilah wilayah terdalam dari setiap agama. Artinya, terdapat substansi yang sama dalam agama-agama, meskipun terbungkus dalam bentuk (wadah) yang berbeda. Maka, bisa dirumuskan secara filosofis bahwa substansi agama itu satu, tetapi bentuknya beraneka ragam. Ada (agama) Yahudi, Kristen, Islam dan seterusnya. Perumusan ini, menjadikan filsafat perennial memasuki wilayah jantungnya agama-agama, yang secara substantif hanya satu, tetapi terbungkus dalam bentuk (wadah, jalan) yang berbeda. “Ada Satu Tuhan, tapi Banyak Jalan,” begitu kesepakatan Edward W Scott, Blu Greenberg, Donald Merrifield, Seyyed Hossein Nasr, dan Nurcholish Madjid.

Untuk menguak misteri dari jantung agama yang menjadi titik temu agama-agama, dapat diilustrasikan dengan air, yang substansinya adalah satu. Tetapi, bisa saja kehadirannya mengambil bentuk berupa sungai, danau, lautan, uap, mendung, hujan, kolam, embun dan sebagainya. “...Ia sama dengan agama: kebenaran substansial hanyalah satu, tetapi aspek-aspeknya berbeda,” tegas sufi India terkemuka, Hazrat Inayat Khan sambil menambahkan bahwa orang-orang yang berkelahi karena bentuk luar akan selalu terus menerus berkelahi, tetapi orang-orang yang mengakui kebenaran batini (esensial, transenden, skd) tidak akan berselisih dan dengan demikian akan mampu mengharmoniskan orang-orang semua agama (Hazrat Inayat Khan, The Unity of Religious Ideals, London: Barrie dan Jenkins, 1980, hal 15).

Begitu pula perumpamaan cahaya, yang substansinya juga satu. Tapi, spektrum cahaya itu punya 'daya terang' tersendiri -- terang sekali, biasa, dan remang-remang --, juga tercermin dalam aneka warna cahaya, -- ada merah, kuning, hijau, dan seterusnya. Tetapi, aneka warna cahaya itu bukanlah signifikan, sebab semua itu tetap dinamakan cahaya, dan semua cahaya pada hakikatnya dapat membawa manusia ke arah Sumber Cahaya itu, yakni Tuhan (dalam wacana teologi keagamaan).

Ilustrasi di atas, dengan demikian bisa diaplikasikan ke dalam wacana pluralitas agama. Ibarat agama, yang secara substansial satu sebagai jantung dari setiap agama, tetapi menjadi beragam dan plural ketika diturunkan dalam 'atmosfir bumi', 'alam eksoterik', atau 'alam nasut' dalam istilah Mulla Shadra. Tetapi, meskipun agama itu plural, semua (agama) itu pada dasarnya dapat membawa manusia ke Sumber Asalnya, yakni Tuhan.

Namun, sejauh manakah batas-batas diametral antara letak 'jantungnya agama' dengan 'pluralitas agama'? Sehingga, bisa dikatakan bahwa secara substantif (esoteris), semua agama pada hakikatnya 'satu', karena diakui adanya titik temu esoteris agama-agama, seperti yang dipresentasikan oleh Huston Smith.

Dalam kerangka inilah, Frithjof Schuon, genius terbesar metafisika tradisional, memberikan sumbangan pemikiran yang sangat orisinal dalam memberikan penekanan (secara diametral) antara eksoterisme ('wilayah pluralitas agama') dan esoterisme ('wilayah jantungnya agama-agama').

Dalam kata pengantar buku The Transcendent Unity of Religions karya Frithjof Schuon (1975), Huston Smith mengatakan bahwa, “...Bagi Frithjof Schuon, hidup ini ada tingkat-tingkatannya ('the hierarchy of existence' istilah EF Schumacher, atau 'the great chain of being' dalam istilah Huston Smith). Hirarki eksistensi ini, mulai dari Tuhan yang menempati peringkat tertinggi, sampai manusia dan atau benda-benda mati pada peringkat terendah. Nah, dari segi metafisik, hanya pada Tuhanlah -- yang berada pada peringkat tertinggi -- terdapat titik temu berbagai agama. Sedang di tingkat bawahnya, agama-agama itu saling berbeda. Sehubungan dengan realitas metafisik ini, dari segi epistemologis dapat pula dikatakan bahwa perbedaan antara agama yang satu dengan agama yang lain, semakin mengecil dan bersatu di tingkat tertinggi, sedangkan di tingkat bawahnya, berbagai agama itu terpecah belah."

Itulah sebabnya, titik temu agama-agama ini tidak berada pada jalur formal, kulit luar, eksoteris, fenomen, aksiden, dan seterusnya, sehingga yang tampak di permukaan adalah realitas pluralitas agama, seperti dipresentasikan oleh kehadiran agama Yahudi, Kristen, Islam, dan seterusnya itu. Tetapi, titik temu agama-agama itu hanya mungkin terealisasi pada level esoteris (kata Huston Smith), esensial (kata Baghavan Das), atau transenden (kata Frithjof Schuon dan penganut setia gerakan New Age).

Dalam perspektif historis, pertemuan ini kian menemukan keabsahannya ketika seorang pemikir India terkemuka, Baghavan Das mulai memperkenalkan ide kesatuan esensial agama-agama (Bhagavan Das, The Essential Unity of All Religions, (Illinois: The Theosophical Press, 1966). Terlebih lagi, ide ini makin kuat secara epistemologis saat Frithjof Schuon, filsuf perenialis yang menjadi kiblat gerakan New Age, mematangkan tesis The Transcendent Unity of Religions (Kesatuan Transenden Agama-agama).

Kesimpulannya, kesatuan agama-agama itu hanya terealisasi pada tingkat tertinggi; esoteris, transenden dan batiniah. Tetapi, karena yang esoteris, transenden dan batiniah itu, hanya bisa berada dalam suatu ‘wadah’ atau ‘bungkus’ yang secara simbolis dinamakan ‘agama’ itu sendiri, maka ia bersifat rahasia dan tersembunyi, sebab tertimbun dalam simbolisme agama. Maka seperti ungkapan metafor: “Siapa yang hendak mendapatkan kacang, dia harus mengupasnya...”. Esoterisme justru baru ‘terlihat’ jika eksoteris-nya ‘dipecah’,” begitu pesan arif senior saya di Paramadina, Budhy.

Sekadar ilustrasi lagi agar lebih jelas, “Ibaratkan agama pada roda sepeda,” kata Nurcholish Madjid (Nurcholish Madjid, “Kata Pengantar” dalam Komaruddin Hidayat & Ahmad Gaus AF (ed), Passing Over, Melintasi Batas Agama, Gramedia Pustaka Utama & Paramadina, 1998, hal xxxix).

”Jari-jari sepeda itu semakin jauh dari ‘as’ (‘pusat’)-nya, maka akan semakin renggang.” Sebaliknya, semakin dekat ke ‘as’ (‘pusat’)-nya, maka akan semakin dekat, bahkan bersatu. Secara filosofis, bisa diungkapkan; “Barangsiapa hanya suka melihat perbedaan-perbedaan sebagai sesuatu yang sangat penting, maka ibaratkan orang di lingkaran itu, berada pada posisi pinggiran. Tetapi, barangsiapa telah mampu membuka tabir the heart of religion atau the religion of heart, maka semua agama (umat beragama) akan bertemu,” demikian ditegaskan Nurcholish.

Nah, pertemuan inilah yang dewasa ini banyak ditunjukkan oleh generasi New Age, baik itu para mistikus maupun spiritualis yang akrab dengan tradisi ‘spiritual adventure’ gaya James Redfield. Dan bahkan jauh lebih liberal lagi, mereka berani melakukan apa yang dipopulerkan oleh John S Dunne sebagai passing over. Bayangkan, betapa tidak liberal jika passing over ini ternyata bisa menjadi suatu ‘Journey with God’.