Sesungguhnya Kami-lah yang menyebabkan blog ini tercipta, dan kamilah yang akan memeliharanya, juga memberkati penulisnya, pembacanya, pemilik hostingnya, dan semua yang terkait dengan blog ini… Sesungguhnya blog ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada server yang terpelihara, tidak membacanya kecuali para pembaca yang disucikan
Selasa, 10 Mei 2011
0
Gantilah tempatnya olehmu,” dan seterusnya . Kisah ini diceritakan
oleh Sang Guru ketika Beliau berada di Jetawana, mengenai seorang
mantan tukang emas yang telah menjadi bhikkhu dan tinggal bersama sang
Panglima Dhamma (Sāriputta).
Hanya seorang Buddha yang memiliki pemahaman isi hati dan dapat
membaca pikiran manusia. Oleh karena itu, tanpa kekuatan itu, sang
Panglima Dhamma hanya dapat memahami sedikit isi hati dan pikiran dari
teman satu ruangannya, memberikan objek perenungan terhadap noda
pikiran kepadanya. Inilah alasan mengapa objek itu tidak begitu
bermanfaat baginya. Menurut cerita yang disampaikan secara turun
temurun, ia dilahirkan selama lima ratus kali berturut-turut sebagai
seorang tukang emas. Akibat terus menerus melihat keindahan emas murni
dalam waktu yang begitu lama, objek perenungan yang diberikan oleh
Thera Sāriputta menjadi tidak begitu membantunya. Ia menghabiskan
waktu empat bulan tanpa mendapatkan kemajuan apa pun selain yang
berhasil dicapainya saat permulaan latihan. Mengetahui bahwa ia tidak
mampu membantu teman satu ruangannya mencapai tingkat kesucian Arahat,
sang Panglima Dhamma berpikir, “Tidak ada orang lain lagi, selain
Buddha sendiri, yang mampu memperbaiki hal ini. Saya akan membawanya
menemui Sang Buddha.” Maka saat fajar menyingsing, ia membawa bhikkhu
itu menemui Sang Buddha.
“Ada apa, Sāriputta?” tanya Sang Guru, “Apa yang membuatmu datang
bersama bhikkhu ini?”
“Bhante, saya memberikan sebuah objek perenungan untuknya. Setelah
menghabiskan waktu empat bulan, ia masih belum mencapai kemajuan apa
pun selain hasil yang dicapainya di awal pelatihan; Saya membawanya
menemui Anda, karena berpikir tidak ada orang lain selain seorang
Buddha yang dapat mengubah keadaan ini.”
“Objek meditasi apa yang engkau berikan padanya, Sāriputta?”
“Objek perenungan terhadap noda pikiran, Bhagawan.”
“Sāriputta, engkau masih belum memiliki kemampuan untuk mengetahui isi
hati dan pikiran seseorang. Engkau boleh pergi terlebih dahulu, dan
kembali di sore hari untuk menjemput teman satu ruanganmu ini.”
Setelah meminta thera senior itu pergi, Sang Guru memberikan jubah
dalam dan luar yang bagus kepadanya, membuat bhikkhu itu tetap berada
di sisinya saat Beliau pergi ke kota melakukan pindapata, melihat
Beliau menerima berbagai macam makanan yang didanakan. Saat kembali ke
wihara, ia dikelilingi oleh para bhikkhu, sementara Sang Bhagawan
beristirahat siang di ruangan yang wangi (gandhakuṭi). Di sore
harinya, Sang Guru bersama bhikkhu itu berjalan di sekitar wihara
tersebut, Beliau menciptakan sebuah kolam dengan rumpun bunga teratai
di dalamnya, dimana teratai itu terlihat sangat indah. “Duduklah di
sini, Bhikkhu,” kata Beliau, “dan tataplah bunga ini.” Meninggalkan
bhikkhu itu disana, Beliau kembali ke ruangan-Nya yang wangi.
Bhikkhu itu terus menerus menatap bunga itu. Sang Bhagawan membuat
bunga tersebut layu. Saat bhikkhu itu masih menatap bunga tersebut,
bunga tersebut mulai melayu; kelopaknya berguguran, mulai dari bagian
pinggirnya, sejenak kemudian, semua kelopaknya menghilang, berikutnya,
benang sari bunga tersebut mulai berjatuhan hingga bagian yang tersisa
hanyalah jantung bunga. Melihat proses tersebut, bhikkhu ini berpikir,
“Walaupun awalnya bunga ini begitu cantik dan segar; namun akhirnya,
warnanya pudar, kelopak dan benang sarinya berguguran, hingga yang
tersisa hanyalah jantung bunga. Jika pembusukan dapat menimpa bunga
teratai yang seindah ini; apa yang tidak akan menimpa jasmaniku? Semua
benda yang terbentuk dari penggabungan beberapa komponen adalah tidak
kekal adanya!” Dengan pikiran tersebut, ia mencapai pencerahan.
Mengetahui pikiran bhikkhu itu telah tercerahkan, Sang Guru yang
sedang duduk di ruangan wangi itu mengirimkan seberkas bentuk yang
mirip dirinya ke tempat tersebut, dan mengucapkan syair ini : —
Buanglah rasa cinta terhadap diri sendiri, dengan tangan yang kau
gunakan untuk memetik bunga teratai di musim gugur. Persiapkan hatimu
untuk ini, tidak untuk yang lainnya; Jalan menuju kedamaian yang
sempurna, dan menuju pemadaman (terhadap nafsu keinginan) yang
diajarkan oleh Sang Buddha.
Pada akhir syair ini, bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian Arahat.
Dengan pikiran bahwa ia tidak akan dilahirkan lagi, tidak dipusingkan
oleh keadaan kehidupan dalam bentuk seperti apa pun setelah ini,
dengan sepenuh hati ia mengucapkan syair berikut ini :
Ia yang hidup dengan pikiran yang matang;
ia yang telah bersih dan bebas dari segala jenis kekotoran,
dengan raga yang terakhir ini; Ia menjalani kehidupan yang suci,
adanya pemahaman yang mendalam, menjadikan ia
sebagai seorang raja yang berkuasa; —
Ia, seperti bulan yang pada akhirnya memenangkan
jalannya dari cengkeraman Rāhu, telah memenangkan pembebasan yang tertinggi.
Kebodohan yang menutupiku, yang dibentuk oleh
khayalan yang timbul akibat adanya kegelapan,
telah ditolak olehku ; —
Seperti, tertipu oleh ribuan sinar yang disorotkan oleh matahari,
yang menghiasi langit dengan siraman cahaya.
Setelah syair dan ungkapan kebahagiaan yang baru saja diucapkannya, ia
menemui Sang Bhagawan dan memberikan penghormatan kepada Beliau. Thera
Sāriputta yang datang setelahnya, memberikan penghormatan kepada Sang
Guru, dan pergi bersama teman satu ruangannya. Saat para bhikkhu
mendengar kabar ini, mereka semua berkumpul di Balai Kebenaran, duduk
sambil memuji kebajikan Yang Maha Bijaksana, mereka berkata, “Awuso,
karena tidak mengetahui isi hati dan pikiran manusia, Thera Sāriputta
tidak mengetahui kecenderungan sifat teman satu ruangannya. Namun Sang
Guru mengetahuinya. Hanya dalam waktu satu hari, Beliau mampu
mengarahkan bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian Arahat, sekaligus
mencapai pengetahuan sempurna. Oh, betapa luar biasanya kemampuan yang
mengagumkan dari seorang Buddha!”
Sang Guru memasuki balai tersebut dan duduk di tempat yang telah
disediakan untuknya, bertanya, “Apa topic pembicaraan pertemuan ini,
para Bhikkhu?”
“Tidak ada yang lain, Bhante, selain bahwa Engkau memiliki pemahaman
tentang isi hati dan dapat membaca pikiran dari bhikkhu yang tinggal
bersama sang Panglima Dhamma.”
“Hal ini bukan sesuatu yang mengagumkan, para Bhikkhu. Sebagai seorang
Buddha, memang sudah seharusnya saya mengetahui kecenderungan sifat
bhikkhu itu. Di kehidupan yang lampau saya juga mengetahui hal itu
dengan baik.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau
menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________
Sekali waktu, Brahmadatta memerintah di Benares. Saat itu, Bodhisatta
terlahir sebagai penasihat raja dalam urusan pemerintahan dan
spiritual. Suatu ketika, para penduduk memandikan seekor kuda liar di
tempat pemandian kuda kerajaan. Saat tukang kuda membawa kuda kerajaan
mandi di tempat pemandian tersebut, kuda itu merasa terhina sehingga
ia menolak untuk mandi di tempat itu. Maka tukang kuda menghadap raja
dan berkata, “Paduka, kuda kerajaan menolak untuk mandi.” Raja meminta
Bodhisatta menghadap dan berkata padanya, “Pergilah, wahai Yang bijak,
dan temukan penyebab mengapa hewan tersebut tidak mau masuk ke dalam
air saat tukang kuda membawanya ke tempat pemandian.”
“Baik, Paduka,” jawab Bodhisatta. Ia segera pergi ke sisi perairan
itu. Setibanya di sana, ia memeriksa kuda tersebut, menemukan bahwa
kuda itu tidak mempunyai luka di bagian manapun dari tubuhnya. Ia
mencoba memprediksikan penyebabnya, akhirnya ia mengambil kesimpulan
bahwa ada kuda lain yang telah mandi di tempat tersebut, sehingga kuda
kerajaan merasa terhina dan tidak mau masuk ke dalam air. Ia bertanya
kepada tukang kuda itu hewan apa yang telah mereka mandikan di sana
sebelum ini.
“Seekor kuda lain, Tuanku, — seekor hewan yang biasa-biasa saja.” “Ah,
karena rasa cinta kepada dirinya sendiri, ia merasa tersinggung
sehingga tidak mau masuk ke dalam air,” kata Bodhisatta kepada dirinya
sendiri, “hal yang harus dilakukan adalah memandikan dia di tempat
lain.” Maka ia berkata kepada tukang kuda itu, “Orang akan merasa
bosan, Temanku, bahkan tentang pemilihan tempat, jika ia selalu
mendapatkan hal yang sama. Ini juga terjadi pada kuda ini. Ia telah
dimandikan di sini sebegitu banyak kalinya sehingga tak terhitung
lagi. Bawalah ia ke tempat pemandian yang lain, mandikan dan beri ia
minum di sana.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengucapkan
syair berikut ini :
Gantilah tempatnya olehmu, dan biarkan kuda itu minum.
Kadang di sini, kadang di sana, dengan selalu mengganti tempatnya.
Bahkan nasi-susu dapat memuakkan bagi manusia pada akhirnya.
Setelah mendengar perkataannya, mereka membawa kuda itu ke tempat yang
lain, di sana ia minum dan mandi tanpa kesulitan. Saat tukang kuda
memandikan kuda kerajaan tersebut setelah memberinya minum, Bodhisatta
kembali untuk menghadap raja. “Baiklah,” kata Raja, “sudahkah kudaku
minum dan mandi, Teman?”
“Sudah, Paduka.”
“Mengapa ia menolak untuk melakukan hal itu sebelumnya?”
“Karena alasan berikut ini,” kata Bodhisatta, dan menceritakan
keseluruhan kisah itu kepada Raja.
“Orang ini benar-benar pintar,” kata raja, “ia bahkan bisa membaca
pikiran seekor hewan.” Raja kemudian memberikan penghargaan kepada
Bodhisatta. Setelah meninggal, ia terlahir di alam bahagia sesuai
dengan hasilperbuatannya. Demikian juga dengan Bodhisatta, setelah
meninggal ia terlahir kembali di alam bahagia, sesuai dengan hasil
perbuatannya semasa hidup.
____________________
Setelah uraian itu berakhir, Beliau mengulangi apa yang telah
dikatakan-Nya bahwa kecenderungan bhikkhu itu di masa lampau sama
seperti saat sekarang ini. Sang Guru mempertautkan dan menjelaskan
tentang kelahiran itu dengan mengatakan, “Bhikkhu ini adalah kuda
kerajaan itu, Ānanda merupakan sang raja, dan Saya sendiri adalah
menteri tersebut.”