Sabtu, 20 Agustus 2011

Menelan Buntelan Suci

Suatu hari di sebuah Gerai alat telekomunikasi ragawi:

“Mbak, kalau saya beli modemnya aja boleh ndak?” Tanya Mas Ganteng pada Mbak Seksi diseberang meja kaca tembus pandang.

“Maaf Bapak, tidak bisa. Modem ini bisa diperoleh jika bapak beli paket XXX unlimited” Jawab Mbak Seksi seraya sibuk merapikan rok mininya yang memang dirancang amat pendek.

Sambil berjuang untuk tidak menonton aksi upskirt, Mas Ganteng berkata lagi “Oooh… kalau saya beli paket XXX unlimitednya saja tanpa modem, gimana?”

“Tidak bisa juga, Bapak. Ini sudah paket, kalau ambil XXX unlimited, maka bapak dapat modemnya dengan harga khusus, kala….” Belum sempat mbak seksi melanjutkan, Mas Ganteng memotong “Kalau saya minta nomor HP anda, supaya nanti malam bisa telpon minta penjelasan lebih lengkap, boleh?” Si Mas Bertanya dengan suara yang tiba-tiba jadi bariton menenangkan.

Ok, cukup, cukup…

Sekarang kita perhatikan latar fragmen diatas: Trik penjualan dengan bundel, atau buntel…? Aduh maaf, karena saya bukan orang marketing, jadi boleh ignoran+sok tahu dikit soal ini, ya? Ok, apapun itu namanya, intinya adalah menggabung beberapa item sekaligus dalam satu buntelan, biasanya buntelan itu akan diberi label menarik seperti paket “Huwemat Bwangedz”, lalu dijual per-buntel. Pembeli hanya bisa mendapatkannya sebagai satu buntelan utuh, tidak boleh per item.

Satu contoh lagi, sebuah vendor menjual paket berisi selusin Kondom bergerigi, satu Vibrator merk Jannah, Pelumas Derox, 2 batre AAA asli dumping RRC, dan secuil Bangkai Tikus Piti. Mereka namai buntelan itu sebagai “Paket sBulan sokSuci”. Anda sebagai pembeli tidak boleh beli vibratornya saja atau kondomnya saja. Walau anda tahu batrenya tak lebih dari sampah merkuri, dan cuilan bangkai tikusnya juga tak berguna, tetap saja anda harus membayar semuanya sebagai “Paket sBulan sokSuci”.

Walau tidak selalu, kadang-kadang tujuan pembuntelan macam itu memang untuk menjual barang-barang yang sulit dijual. Produk-produk yang jika berdiri sendiri tak bakal laku, setelah dimasukkan bundel bisa laris manis dipasaran.

. . . _ _ _ . . .

Trik yang sama terbukti bermanfaat dalam memasarkan produk-produk rohani dan sejenisnya.

Misalnya, produk yang ingin dipasarkan adalah pembodohan, terror dan kebencian. Maka siapkan saja sebuntel pasal sebagai berikut:

Jangan engkau mencuri, sebagaimana kaum sebelum kamu juga dilarang mencuri
Jangan makan daging manusia, pada hari ini, aku resmikan saran ini sebagai harga mati
Jangan meludah kearah datangnya angin, merugilah orang-orang yang tak menggunakan akalnya
Jangan kau menusuk dari belakang, karena rasanya sakit, sakit minta ampyun
Patuhi rambu-rambu lalu lintas saat ada polisi, sungguh beruntung orang-orang yang berpikir
Dan beberapa ratus pasal lain yang isinya dapat saja berupa anjuran logis sederhana. Yang penting disampaikan secara berbelit dan puitis sedemikian rupa hingga terasa surgawi dan multitafsir.
Kemudian sekian ratus pasal itu di buntel dan dilabeli sebagai “666 Perintah Dewi Pengulum Pedang(DPP)”, atau “Kitab Berkhasiat Si Maha Jenggot (SMJ)”, atau apapun. Yang penting kaitkan paket itu dengan siapapun yang sudah punya branding oke. Sesuatu yang diyakini punya kekuatan luar biasa.

Di pasar, para pembelinya akan menerima buntelan itu sebagai satu kesatuan yang utuh yang tak terpisahkan. Kenapa? Karena buntelan ini sudah dikaitkan erat dengan tokoh hebat yang punya branding luar biasa (DPP/SMJ), yang begitu hebatnya hingga tidak boleh dibantah apalagi diragukan keluarbiasaannya. Pokoknya, buntelan ini tidak boleh dibongkar untuk dikritisi isinya satu-persatu. Apalagi dipreteli dan disaring mana yang baik dan mana yang sampah. Dosa itu. Dosa banget.

Karena yang namanya buntelan (terutama buntelan suci) harus selalu ditelan bulat-bulat, maka terbukalah kesempatan untuk menyelipkan “inti sari” dari buntelan itu, yang tak lain adalah produk yang ingin dipasarkan, dalam contoh ini adalah kebencian, pembodohan dan terror.

Tentu perlu diselipkan juga beberapa pasal untuk kepentingan pemasaran (bonus bagi yang merekrut konsumen baru), menyerang kompetitor (cap sesat bagi jidat liyan) maupun untuk memastikan loyalitas pelanggan (eksekusi mati pembelot yang beralih ke produk lain) dan apapun apapun yang dianggap perlu.

Diantara sekian banyak pasal yang menganjurkan kebaikan-kebaikan praktis dan gampang dinalar, sisipan beberapa pasal ajaran keji tentu sulit disadari. Apalagi jika produk pembodohannya sudah dihayati.

Walau suatu ketika ada pembeli menyadari pasal-pasal mencurigakan, itupun tidak jadi masalah. Kan semuanya harus tetap ditelan. Menerima buntelan suci memang harus kaffah. Menolak satu saja dari isi buntelan, maka si penolak dianggap bukan umat yang baik, bukan konsumen yang loyal. Siapapun yang mengkritisi, apalagi menolak satupun pasal, akan didaulat sebagai pendosa yang sudah membangkang terhadap sabda DPP, atau SMJ. Jika para konsumen setia tidak berhasil menyakiti dia di dunia, maka siksa pedih menunggunya di neraka.

. . . _ _ _ . . .

Akhir kata, tulisan saya tutup dengan kesimpulan semena-mena: Buntelan tak hanya meningkatkan daya jual ‘produk sampah’ yang susah laku, tapi juga melindungi seluruh isi buntelan dari ancaman pikiran manusia yang sok kritis, liar dan kurang iman.

Sekarang, sadarkah anda apa saja isi dari buntelan yang terakhir anda telan?